Skip to main content

Saat Kita Berkomentar

Kehidupan selain menunggu tentu akan menghasilkan pilihan-pilihan, semua bergantung pada pemillik sanubari entah memilih sesuai kebutuhan atau memilih seesuai keinginan. Mengomentari hidup orang lain dapat dikategorikan sebagai pilihan. Tapi, dalam koteks mengomentari harus ada batasan-batasan. Batasan ini lah yang terkadang sulit untuk dimengerti karena sejatinya mengomentari sudah bukan pilihan namun menjadi kebiasaan. Untuk sekarang-sekarang ini bisa kita lihat sederet jumlah artis yang terseret kasus narkoba. Sebagai contoh yakni salah satu pelawak srimulat yang bernama Nunung. Disini ada banyak aspek yang bisa kita ambil sebagai orang yang tidak mengenal Nunung secara langsung. Semisal, ketika berita itu keluar netizen sudah ramai membicarakan bahwa suaminya lah yang menyeret Nunung untuk mengonsumsi. Tapi buktinya? Nunung memberikan keterangan sebaliknya. Entahlah siapa yang harus dipercaya, sing penting orang-orang yang telah berkomentar sebelum ada keterangan tersebut sebaiknya malu dan bersalah. Coba dari awal mereka tidak berkomentar, mungkin suami Nunung tidak akan seburuk yang kita bayangkan. Terlebih lagi saat di posisi sang suami, apa rasanya dikomentari bahkan ada yang mencurigainya walau Nunung sudah memberi keterangan ? Jawaban terbaiknya mungkin dengan kata "Terima saja, toh sebenarnya tidak bergitu." 

Semakin kesini banyak manusia yang mulai salah untuk memilih, ia suka terjebak dalam keraguan. Seperti sekarang - sekarang, alasan yang diutarakan untuk membentengi, memberi kejujuran, menjelaskan segala bentuk insiden bukan jadi barang bukti. Namun, sebagai argumentasi yang didatangkan ke meja untuk diperdebatkan untuk dipertanyakan. Andai saja, menusia tidak melulu soal logika. Mungkin, kejujuran akan semakin terlihat dan mudah untuk diuatarakan. Mungkin juga, ini menjadi pengandaian yang cocok : "Semesta diciptakan dengan dua keberadaan yakni bumi dan langit. Demikianlah manusia, mereka dibekali logika dan perasaan untuk bisa menjadi utuh."  

Alangkah baiknnya, jika pilihan diambil tidak hanya sekedar firasat dan jika bukan sekedar logika, butuh keduanya untuk mengimbangi. Bisa diibaratkan kita sama dengan semesta, harus memiliki dua aspek untuk menjadi sejadi-jadinya diri kita. Sulit memang untuk berhenti dalam komentar yang berasumsi karena ketika asumsi itu benar, ada banyak orang yang merasa dirinya hebat dalam membaca situasi walau belum tentu itu yang terjadi. Lagi-lagi seperti kasus Nunung, kita tidak pernah tahu sebenarnya seperti apa kejadiannya, namun perlu kita garis bawahi bahwa
"Sangat mudah untuk memutuskan apakah sesuatu itu salah atau tidak. Berbeda saat menggolongkan manusia-manusia, bukan dengan satu perbuatan salah ia menjadi orang jahat. Tidak juga dengan satu perbuatan benar ia menjadi baik. Butuh lebih dari sekedar melihat, butuh lebih dari sekedar mendengar, butuh lebih dari sekedar alasan. Itulah kenapa, mengomentari harus mengerti batasan-batasan dan memilih diam dapat sebagai jawaban." 


Comments

Popular posts from this blog

a Firstborn Child

#1 Lesson  :  We all have our moments. So do not get upset when someone is faster than you.  There are a lot of stages of life, from you are born until your time to leave. Not so long ago, I have just graduated. Some pages of my story have been filled with much joy, happiness, laughter, and love. Sometimes, sadness and remorse are meant to exist. In yours too. We simply learn from what we are all going through and eventually we will grow, become so much more than now. Graduated at 21 years old is just a common thing. On the other hand, my sister finished her bachelor’s degree in her twenty at the same time as me.  From there, so many things gradually change. Fastly, she has joined a company that my father owns. Small talks that happened, comments, and jokes are just related to their works’ surroundings. I feel left out. At the time, thinking if I am not choosing this major, I shall join the company too. This kind of destiny somehow making me think less of myself. Ins...

One of Love Letters

#2 lesson : Many times, we failed to notice love until we understand the different ways to show it.  My childhood memories might be a blur. One thing for certain, those times were filled with abundance of love. A family has been everyone's greatest blessing, at least it is how it should be. If the sun is the center of the universe, then love could be the center of happiness. Fragments of my happiness left within my memory; times when I didn’t need big reasons to simply laugh and smile, how unnecessary fights left as an object to laugh about. I hope my brain could hold those memories until forever.  Time cannot be stopped, nor brain can always remember all of things, but so often about what we want to forget. Even so, your heart can still remember the past happy feelings. Thus, some choose to capture moments, hanging it around in small frames; to overcome the fear of the inability on holding too many feelings and emotions. Rarely, they just write.  Life itself consists of ...

Nilai dari Sebuah Komentar

Tubuh menjadi tempat manusia untuk bisa hidup. Merasakan yang namanya berwujud, bernafas, dan berdetak. Jika saat bercermin, kamu menemukan ketidaksempurnaan fisik. Hal itu tidak lebih dari kewajaran yang mengajarkan kita tentang rasa penerimaan. Suatu saat kita akan sadar, pada dasarnya semua ini hanya sebuah tempat singgah yang mau bagaimana pun diakhiri dengan kata selamat tinggal. Ya walaupun, beberapa manusia mudah untuk berkomentar tentang fisik yang sebenarnya hanya bagian eksternal dari diri kita. Mungkin juga, karena dianggap eksternal, komentar soal fisik tidak lagi sebuah hal tabu, ia suka disandingkan dengan kalimat-kalimat menyatakan bahwa yang dikatakan tidak lain adalah fakta. Bagaimana pun juga, berkomentar tidak pernah jadi suatu larangan, tapi apa yang kita coba komentari selalu saja bisa menggambarkan bagaimana cara kita memandang manusia lain. Seperti, saat seseorang berkomentar tentang cara berpakaian orang lain. Secara tidak langsung kita dapat berpikir bahwa ia s...