Skip to main content

Ungkapan dari (tanpa) Suara


Bagaimana mendengar sebuah rahasia
yang tidak pernah bersuara? 

Kaki manusia menapaki permukaan bumi, sebuah kenyataan bahwa gravitasi dan kerendahan hati menjadi ‘awal’ untuk mengukir perjalanan hidup lebih meringankan. Segala arah yang dituju merupakan pertimbangan dan pemikiran dari kebutuhan atau keinginan. Kemudian, manusia akan bercerita mengenai perasaannya sebagai jawaban dari sebuah perjalanan. Ya, tujuan tidak selalu berwujud tempat, perasaan selalu mampu mengambil alih kedudukan dari keindahan yang terlihat. Beberapa tempat singgah pun kelak menjadi kenangan dan pemandangan adalah teman berbicara –sudah pukul berapa? Malam? Siang? Atau pagi? –mungkin… begitu.

Melangkah pada kehidupan, seperti berjalan tanpa alas kaki; kita mengetahui dan merasakan apa yang kita pijak –bahkan jika sudah terasa hambar. Merencanakan sesuatu pun akan terasa sebagaimana mencari jalan keluar dalam hutan belantara; kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya telah hadir menunggu. Begitu cara mereka menggapai tangan-tangan yang tersesat; dedaunan dengan sabar menemani hati yang sedang bingung, ia akan berbicara walau tanpa suara. Sama halnya dengan kapas-kapas awan, batang pohon, gerombolan semut, pijaran bintang, dan aspek alam lain yang memperkenalkan dirinya pada manusia saat berusaha keluar dari kesendirian – Seketika, alam menjelma tangan Tuhan bagi manusia yang menerjemahkannya dengan baik.

Mereka menyimpan banyak rahasia, dan hanya manusia yang menyadari akan mendengar rahasia-rahasia itu. Alam terlalu banyak menjadi saksi atas kehidupan bumi. Ia menyimpan begitu banyak pengetahuan dan ketidaktahuan manusia. Dalam suatu kutipan William Shakespeare, “The earth has music for those who listen” dan berpikir sembari mendengar akan membuka kinci-kunci rahasia yang tidak bersuara –sebuah kehadiran dan kehilangan yang akan diikhlaskan. Kita mulai mengerti bahwa sebagian jawaban diketahui karena telah ditanyakan dan sebagian lagi akan terjawab tanpa harus ditanyakan –telinga memiliki caranya sendiri untuk ‘melihat’ sebagaimana pula hati dan perasaan manusia.

Comments

Popular posts from this blog

a Firstborn Child

#1 Lesson  :  We all have our moments. So do not get upset when someone is faster than you.  There are a lot of stages of life, from you are born until your time to leave. Not so long ago, I have just graduated. Some pages of my story have been filled with much joy, happiness, laughter, and love. Sometimes, sadness and remorse are meant to exist. In yours too. We simply learn from what we are all going through and eventually we will grow, become so much more than now. Graduated at 21 years old is just a common thing. On the other hand, my sister finished her bachelor’s degree in her twenty at the same time as me.  From there, so many things gradually change. Fastly, she has joined a company that my father owns. Small talks that happened, comments, and jokes are just related to their works’ surroundings. I feel left out. At the time, thinking if I am not choosing this major, I shall join the company too. This kind of destiny somehow making me think less of myself. Ins...

One of Love Letters

#2 lesson : Many times, we failed to notice love until we understand the different ways to show it.  My childhood memories might be a blur. One thing for certain, those times were filled with abundance of love. A family has been everyone's greatest blessing, at least it is how it should be. If the sun is the center of the universe, then love could be the center of happiness. Fragments of my happiness left within my memory; times when I didn’t need big reasons to simply laugh and smile, how unnecessary fights left as an object to laugh about. I hope my brain could hold those memories until forever.  Time cannot be stopped, nor brain can always remember all of things, but so often about what we want to forget. Even so, your heart can still remember the past happy feelings. Thus, some choose to capture moments, hanging it around in small frames; to overcome the fear of the inability on holding too many feelings and emotions. Rarely, they just write.  Life itself consists of ...

Nilai dari Sebuah Komentar

Tubuh menjadi tempat manusia untuk bisa hidup. Merasakan yang namanya berwujud, bernafas, dan berdetak. Jika saat bercermin, kamu menemukan ketidaksempurnaan fisik. Hal itu tidak lebih dari kewajaran yang mengajarkan kita tentang rasa penerimaan. Suatu saat kita akan sadar, pada dasarnya semua ini hanya sebuah tempat singgah yang mau bagaimana pun diakhiri dengan kata selamat tinggal. Ya walaupun, beberapa manusia mudah untuk berkomentar tentang fisik yang sebenarnya hanya bagian eksternal dari diri kita. Mungkin juga, karena dianggap eksternal, komentar soal fisik tidak lagi sebuah hal tabu, ia suka disandingkan dengan kalimat-kalimat menyatakan bahwa yang dikatakan tidak lain adalah fakta. Bagaimana pun juga, berkomentar tidak pernah jadi suatu larangan, tapi apa yang kita coba komentari selalu saja bisa menggambarkan bagaimana cara kita memandang manusia lain. Seperti, saat seseorang berkomentar tentang cara berpakaian orang lain. Secara tidak langsung kita dapat berpikir bahwa ia s...