Skip to main content

Nilai dari Sebuah Komentar

Tubuh menjadi tempat manusia untuk bisa hidup. Merasakan yang namanya berwujud, bernafas, dan berdetak. Jika saat bercermin, kamu menemukan ketidaksempurnaan fisik. Hal itu tidak lebih dari kewajaran yang mengajarkan kita tentang rasa penerimaan. Suatu saat kita akan sadar, pada dasarnya semua ini hanya sebuah tempat singgah yang mau bagaimana pun diakhiri dengan kata selamat tinggal. Ya walaupun, beberapa manusia mudah untuk berkomentar tentang fisik yang sebenarnya hanya bagian eksternal dari diri kita. Mungkin juga, karena dianggap eksternal, komentar soal fisik tidak lagi sebuah hal tabu, ia suka disandingkan dengan kalimat-kalimat menyatakan bahwa yang dikatakan tidak lain adalah fakta. Bagaimana pun juga, berkomentar tidak pernah jadi suatu larangan, tapi apa yang kita coba komentari selalu saja bisa menggambarkan bagaimana cara kita memandang manusia lain. Seperti, saat seseorang berkomentar tentang cara berpakaian orang lain. Secara tidak langsung kita dapat berpikir bahwa ia sangat memerhatikan cara orang lain dalam memilih apa yang akan mereka tampilkan, dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Kamu hanya akan digambarkan sebagai orang yang perfeksionis dalam hal berpakaian. Ketika seseorang dengan mudahnya ‘berkomentar’ tentang cara orang lain memberlakukan sesamanya, mungkin kita akan berpikir bahwa ia adalah orang yang mengutamakan sopan santu dan akhlak berbudi. Sayanngnya, kita tidak pernah benar-benar tahu, mengapa sebenarnya demikian. Sama juga, ketika seseorang berkomentar tentang aspek fisik yang tidak tergolong ‘standar rupawan’ miliknya, kita dapat menyimpulkan, bahwa ia sangat mengutamakan fisik orang lain. Saya hanya ingin bilang, saat berkomentar bukan kita saja yang menilai orang lain. Kita juga bisa dinilai dari pendapat yang kita telah dilontarkan. 


Komentar-komentar itu datang dari arah yang tidak tentu, dari manusia berbagai kalangan dan akhirnya akan sampai dalam bentuk berbeda-beda. Seperti bayangan dari tubuh makhluk hidup: Ketika matahari bersinar tepat diatas kita, bayangan yang terbentuk tidak akan pernah terlihat. Saat matahari terlalu tinggi untuk meyinari, bayangan kita akan terasa lebih kecil dibanding tubuh sebenarnya. Sedangkan, disaat cahaya datang dari bagian serong bawah, bayangan menjadi lebih besar hampir menyerupai raksasa. Begitulah, setiap sudut pandang akan memiliki prespektif berbeda terhadap diri kita, dan itu menjadi sangat wajar. Sama halnya dengan komentar-komentar manusia. Akan berbeda tiap prespektif tergantung dimana ia berdiri(arah cahaya) disaat berkomentar tentang sesuatu. Selain arah, manusia juga ternyata sangat terpaut perihal jumlah. Kamu tidak butuh 1000 pujian untuk bisa menjadi manusia baik. Kamu juga tidak lantas menjadi jahat karena 1000 orang mengganggapmu demikian. Menjadi baik atau jahat tidak memerlukan komentar orang lain, kamu lebih mengetahuinya daripada siapapun dan itu jauh lebih membahagiakan.

Comments

Popular posts from this blog

Ungkapan dari (tanpa) Suara

Bagaimana mendengar sebuah rahasia yang tidak pernah bersuara?  Kaki manusia menapaki permukaan bumi, sebuah kenyataan bahwa gravitasi dan kerendahan hati menjadi ‘awal’ untuk mengukir perjalanan hidup lebih meringankan. Segala arah yang dituju merupakan pertimbangan dan pemikiran dari kebutuhan atau keinginan. Kemudian, manusia akan bercerita mengenai perasaannya sebagai jawaban dari sebuah perjalanan. Ya, tujuan tidak selalu berwujud tempat, perasaan selalu mampu mengambil alih kedudukan dari keindahan yang terlihat. Beberapa tempat singgah pun kelak menjadi kenangan dan pemandangan adalah teman berbicara –sudah pukul berapa? Malam? Siang? Atau pagi? –mungkin… begitu. Melangkah pada kehidupan, seperti berjalan tanpa alas kaki; kita mengetahui dan merasakan apa yang kita pijak –bahkan jika sudah terasa hambar . Merencanakan sesuatu pun akan terasa sebagaimana mencari jalan keluar dalam hutan belantara; kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya telah hadir menunggu. Begitu cara m...

a Firstborn Child

#1 Lesson  :  We all have our moments. So do not get upset when someone is faster than you.  There are a lot of stages of life, from you are born until your time to leave. Not so long ago, I have just graduated. Some pages of my story have been filled with much joy, happiness, laughter, and love. Sometimes, sadness and remorse are meant to exist. In yours too. We simply learn from what we are all going through and eventually we will grow, become so much more than now. Graduated at 21 years old is just a common thing. On the other hand, my sister finished her bachelor’s degree in her twenty at the same time as me.  From there, so many things gradually change. Fastly, she has joined a company that my father owns. Small talks that happened, comments, and jokes are just related to their works’ surroundings. I feel left out. At the time, thinking if I am not choosing this major, I shall join the company too. This kind of destiny somehow making me think less of myself. Ins...

The Tall Building Without Capacity

Bangunan menjulang tinggi berlomba mencapai langit; karena tanah yang dibeli tidak cukup luas untuk bisa menampung keinginannya. Tersusun ruangan-ruangan dengan segala bentuk, ada yang lebih luas juga ada yang lebih sempit, tapi tetap saja semua terkesan cukup jika barang-barang yang dibeli bukan karena rasa tamak –bukan sebatas keinginan semata. Saking tingginya, awan-awan menjadi pemandangan untuk siapapun yang hadir pada bangunan itu, bahkan mereka dapat melihat bulan lebih dekat dibanding orang lain kebanyakan. Jika, bangunan ini adalah tempat tinggal maka ia tidak akan pernah kosong; tapi sayang, tidak banyak yang menjadikannya sebagai tempat tinggal. Love is like a building without definite capacity . S eperti bangunan tanpa kapasitas, cinta demikian adanya. Bertambahnya kecintaan terhadap sesuatu akan menentukkan porsi pada bangunan itu. Ia dapat menambah ruang baru, memperluas ruangannya sendiri, dan deretan nama akan menjadi ‘barang’ diruangan yang sudah ditentukkan. Mereka, d...