Bicara Tentang Perasaan
Batasan dalam merasakan ternyata juga diperlukan.
Sulit saat perasaan bahagia berangsur menjadi sedih. Mudah saat perasaan sedih berbayar dengan kebahagiaan. Maka dari sekian cerita, ada senyum kepedihan juga air mata kemenangan. Kadang, keduanya tidak diterjemahkan demikian karena tidak semua orang perlu mengetahui kisahnya disuatu keadaan. Mana yang lebih bahagia? Tawa menyenangkan atau tangis mengharukan? Lebih menyedihkan senyum kepedihan atau air mata tak terhentikan? Kenapa pula harus dibandingkan…
Pada buku goodbye, things! Fumio Sasaki berkata, “Kebahagiaan yang mampu kita rasakan nempunyai batas;” Tapi, apa mungkin beberapa masih tidak menyadari tentang hal itu? Hingga suatu kebahagiaan dapat berujung pada kehilangan yang lepas kendali. Rasa bahagia, sangat mudah membuat kita lupa tentang waktu dan Sang Pencipta. Saat bahagia, kita bisa jadi tidak kehilangan apa-apa, melainkan diri sendiri. Seolah-olah yang dirasakan hanya kebahagiaan hingga jiwa kita larut dan menghilang padanya. Padahal, perasaan adalah sesuatu yang bisa berubah tanpa mengenal kata ‘kapan' dan bersyukur berperan penting dalam mengendalikan rasa bahagia. Bahkan, bagi sebagian orang, bersyukur adalah cara mereka untuk berbahagia.
Begitu pula ketika bersedih, gelap menjadi teman yang baik. Ia tidak menunjukkan wajah lelah karena menangis, tidak memaksa untuk mengungkapkan segala sesuatu yang tersembunyi, dan manusia lain tidak akan mudah menerka-nerka semaunya. Dalam gelap, biarkan matamu terbuka. Meski tidak nyaman, cahaya setitik pun akan terlihat. Dibanding harus menutup mata dan melewatkannya. Seperti saat bersedih, seakan banyak orang yang perlahan mulai meninggalkan; tidak peduli; atau mungkin sebaliknya, kamu yang membangun sekat itu sendiri, tidak benar-benar melihat; dan memutuskan untuk menutup mata. Jika kedua mata tetap tersadar, cahaya sudah sedari tadi menghampiri gelap, kamu bisa berbahagia lebih cepat dari yang kamu bayangkan.
Comments
Post a Comment